Search and Hit Enter

Hak Kekayaan Intelektual di Tanah Air Antara Copyright dan Copyleft

DIRJEN Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Freddy Harris mengatakan, terkait hak cipta, khususnya soal copyright atau copyleft, rezim  yang dianut Indonesia saat ini adalah rezim ekonomi dengan didasarkan UU tentang Hak Cipta.

“Tapi, apabila Kita mau melepas sisi ekonomi dari hak cipta itu atau copyleft, ya dilepaskan silakan, tapi negara melindungi sisi ekonomi,” ujar Freedy Harris dalam Sarasehan Perhimpunan Penulis Satupena yang bertema “HKI: Copyright atau Copyleft” yang digelar secara daring pada Minggu (4/7).

Sarasehan dalam rangka menyongsong Kongres Satupena pada Agustus mendatang yang dipandu novelis Achmad Fuadi ini menghadirkan Konsultan Kreatif dan Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia Chandra Darusman, wartawan senior dan komisaris Tempo Media, Bambang Harimurti, serta  novelis Okky Madasari.

Lebih lanjut Freddy Harris mengatakan, dunia saat ini sangat dinamis, Indonesia  sudah terikat dengan berbagai perjanjian yang menghargai hak cipta dan menghargai hak intelektual atau seperti Tiongkok di masa lalu yang membajak karya pihak lain.

“Tapi saat ini China berubah, sudah menghargai UU Hak Cipta, termasuk UU disain industrinya sudah kuat,” katanya.

Dikatakan Freddy, Indonesia  menggunakan rezim hak cipta yang harus dipatuhi demi melindungi hak ekonomi.

”Yang hanya bisa dilakukan atau copyleft adalah hak ekonominya saja, hak ciptanya tidak bisa. Contoh buku karya Okky Madasari sampai kapanpun karya dia, hanya saja penjualan dan lainnya beda. Sampai hari ini copyleft  hanya 0,1%, jadi kecil dan tidak bisa berkembang, ”ujarnya.

Namun Freddy menegaskan bahwa pemerintah jelas melindungi semua hasil kreativitas. Sedangkan hak moral tidak bisa dihapus. Kemenkumham juga sepakat bahwa Indonesia kuat dalam kretivitas dan ini keunggulan kita.

“Jadi, kita tinggal pilih saja mau copyright atau copyleft. Yang jelas kita ingin melindungi hak moral dengan copyright,” katanya.

Sementara itu  Konsultan Kreatif dan Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia, Chandra Darusman menyinggung sejarah lahirnya hak cipta dan polemik copyright dan copyleft.

“Saya secara kemasyarakat setuju, kedua hal itu bisa hidup berdampingan, hanya saja kubu satu agak genit dan overacting dan membuat ketersinggungan,” kata Chandra Darusman.

Chandra yang selama ini dikenal juga sebagai musisi mengatakan, topik sarasehan Satupena ini sangat relevan  karena menyangkut hak intelektual dalam kaitan industri yang berkembang saat ini.

Hak Kekayaan  Intelektual  itu menurutnya terdiri atas Hak Industraial dan Hak Cipta.Hak industrial terdiri atas hak paten, merek, indikasi geografis, desain, rahasia dagang (formula).

“Nah, yang kita bahas di sini menyangkut bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan sebagai hak cipta (ekspresi),” katanya.

Hak cipta juga middle way,  Indonesia menggunakan   istilah hak cipta tahun 1982 untuk menjadi kompromi atas dua mazhab.

“Karena copy right bersifat teritorial, maka ada pembajakan di luar negeri kemudian muncul kesepakatan atau Berne Convention 1886 diprakarsai oleh ALAI atau Asosiasi Penulis yang diketuai oleh Vivtor Hugo. Di Berne Convenstion pun tidak disebut Copyright,” ujar Chandra menynggung hak cipta .

Dikatakan, Amerika Serikat (AS) mencari keseimbangan antara copyright dan copyleft. Ada juga yang sangat fanatik, harus dihilangkan dimuka bumi copyright itu. Juga ada partai di swedia yang menginginkan agar copyright dihilangkan.

“Saya agak setuju kadang-kadang copyright atau authors right agak overacting. Seumur hidup plus 50 tahun hak cipta. Bakan di AS, 100 tahun, itu overacting, karena ada kepentingan ekonomi yang besar di situ,” katanya.

Lain lagi pandangan novelis Okky Madasari. Dia mengatakan, ketika bicara soal copyright dan copyleft seharusny menempatkan kontrol sebuah kreasi di tangan kreator.

“Keputusan kreatornya yang menentukan apakah di akana gunakan cara konvensional (hanya bisa dipiblikasi dijual dan sebagainya) atau memilih cara ala copyleft di mana seseorang mendistribusikan dan membaca dengan bebas,” ucapnya

Diungkapkan, pada Desember  2019, Okky menerbitkan buku “Genealogi  Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, Dan Sastra Perlawanan”  dan sengaja mempublikasikan karya secara bebas.

“Saya sadar dan bahwa keuntungan ekonomi tidak sebatas hanya soal uang, tapi kita ingin dapat benefit lain. Tapi saya ingin buku itu banyak dibaca dan didiskusikan banyak orang,” jelasnya.

“ Bahkan menjualnya Ketika saya melakukan itu, dampaknya luar biasa, meski bukan popular, didiskusikan banyak orang, termasuk komunitas di kampung, jika konvensional membeli akan berat,” papar Okky.

Sedangkan wartawan senior Bambang Harimurti menjelaskan kenapa copyright dibuat. Istilah copyleft tidak sepenuhnya benar, karena sebenarnya copyleft bagian dari copyright.

Copyleft diciptakan oleh ahli software, Richard Stallman yang jengkel karena public domain yang diberikan kpada perusahaan symbolic untuk dikembangkan, malah kemudian didaftarkan sebagai copyright milik perusahana tersebut. Orang ini dibantu malah ambil keuntungan komersial.

“Ini bukan cerita baru, banyak penyalahgunaan copy right, bukan inovatornya tapi korporasi. Dengan secara licik mengambil keuntungan,” katanya.

Dijelaskan Bambang, copyright itu adalah hak untuk menyalin, maka copyleft lebih pada hak untuk mendokumentasi dan memodifikasi copyleft secara hukum masih memanfaatkan dari bagian copyright tapi dia melepaskan sebagaian hak ekonomi secara bersyarat agar inovasi berkembang.

“Copyright  jadi problem ketika muncul teknologi industri. Pembuat program jika membuat program, akan terkendala, karena pekerjaan software kolabolartif, bukan individu,” katanya. (RO/OL-09)

Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/416413/hak-kekayaan-intelektual-di-tanah-air-antara-copyright-dancopyleft

No Comments

Leave a Reply