Search and Hit Enter

Buku untuk Tikus di Bantaran Kali

Oleh: Antyo Rentjoko

Di beritagar.id, Senin, 16 Juli 2018

Neneng, seorang perempuan yang kerap meninggalkan rumah malam hari untuk berkencan singkat, tak merasa sebagai pelacur. Tak ada urusan keuangan dengan klien yang ia sebut sebagai teman. Tak ada pula istilah pelanggan.

Yang Neneng terima dari para pria itu bisa berupa perlindungan keamanan, baju untuk anaknya, kalung, atau bahkan… batu baterai untuk lampu senter karena sang lelaki tak tahu harus memberi apa.

Saat banjir merendam kampung Neneng, sebuah kantong hunian ilegal-padat-kumuh di bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta, berkuranglah lelaki mengetuk pelan pintu rumah tempat ia menumpang.

Ketika banjir, air setinggi dada menghalangi langkah para teman. Genangan air kotor. Bangkai ayam dan sampah. Bagi Neneng, “Aku bosan tanpa teman kencan.” Tanpa kencan berarti tiada hadiah.

Pengamatan secara terlibat

Kisah Neneng hanyalah sebagian dari paparan kisah Roanne van Voorst (35), seorang antropolog Belanda, dalam Tempat Terbaik di Dunia. Untuk menulis disertasi bagaimana masyarakat miskin menyiasati hidup bersama banjir, ia tinggal di salah satu kampung binaan Sandyawan Sumardi.

Akan tetapi Roanne tak menemukan kampung itu dari aktivis lembaga swadaya masyarakat apalagi dari sekian birokrat — yang terakhir ini tak mau memberi info. Roanne memang mencari. Naik-turun ojek.

Akhirnya ia sampai di sebuah kampung. Itu terjadi karena ajakan seorang warganya, pengamen ukulele, yang ia jumpai dalam bus kota sumpek menggerahkan.

Pengamen itu, Tikus namanya, menawari Roanne, “Mau ikut?”

Roanne bertanya ke mana.

Tikus menjawab, “Ke tempat terbaik di Indonesia. Eh bukan, ke tempat terbaik di dunia!”

Pemuda Tikus berpromosi, dalam kalimat hasil penerjemahan dari teks bahasa Belanda Roanne, “Apa saja yang ingin kamu lakukan, bisa kau lakukan di sana, dan apa saja yang ingin kamu miliki ada di sana”.

Tempat terindah itu berisi gubuk Tikus yang berlantai tanah. Beratap kardus. Berdinding kayu. Tapi bagian belakang tak berdinding, langsung menghadap sungai kotor mengalir.

Gubuk itu berbau busuk. Sama busuknya dengan jalan menuju rumah itu, dua puluh menit jalan kaki dari tempat perhentian ojek, menempuh tanah becek, dengan udara yang kadang dialiri aroma cabai sedang digoreng.

Dalam riset Roanne menyebut kampung itu Bantaran Kali. Suatu kelaziman etis dalam observasi etnografis yang berketerlibatan: menyamarkan tempat dan nama warganya.

Selama 2010-2011 Roanne tinggal di Bantaran Kali. Ia menyewa sebuah rumah tanpa air bersih (kecuali dalam ember yang sudah terisi; antara lain untuk mengguyur kloset) seharga Rp6 juta setahun, hampir setara sewa bulanan apartemennya di Belanda. Higiene lingkungan yang parah membuat ia sakit dan harus ke rumah sakit — dengan mengenakan rok, dan sepatu bertumit milik tetangga, agar tampil pantas.

Beberapa kali kemudian, termasuk setelah ia menjadi doktor (cum laude) di Universitas Amsterdam (2014), ia menyambangi kampung itu. Mencari orang-orangnya yang masih tersisa dari gusuran.

Otot Kegel, ratus, dan tongkat madura

Roanne mengamati kehidupan di kampung itu dengan menyelami. Termasuk belajar membuat sapu lidi, menghadiri pengajian, dan mencatat amatan.

Akan tetapi sebagai peneliti ia harus berjarak. Tak mungkin terlalu terlibat apalagi memengaruhi. Maka ketika ia harus membantu korban banjir ia memilih jalan memutar: menyerahkan uang kepada lembaga amal agar uang sampai ke tetangga tanpa mereka tahu asalnya.

Bagi Roanne, soal bantuan itu perlu disembunyikan, agar saat narasumber menceritakan masalah keuangan mereka tak punya pamrih.

Tentang kemiskinan, pelbagai studi sudah membuktikan bahwa kemiskinan, sebagai sebuah kantong kehidupan, memiliki set sosial ekonomi sendiri. Sejak penatu, jual beli, simpan pinjam, jaminan keamanan, penyewaan hunian, hingga prostitusi.

Maka sebagai pengamat Roanne menyodorkan fakta dan deskripsi. Namun dalam buku ini, karena merupakan produk sampingan, bukan untuk disidangkan, ia juga beropini dan mengadili.

Misalnya skeptisismenya terhadap Neneng dan induk semang Enin soal cara mengikat lelaki, apalagi hanya dengan aneka seni bercinta.

“…tapi tentang pengetahuan mereka bisa mengikat laki-laki, saya ragu” (hlm. 123). Meskipun berpengalaman dalam asmaragama, mereka tak memahami seni berpacaran jarak jauh — suatu hal yang terjadi pada Roanne karena pacarnya di Belanda.

Soal seksualitas, dengan sejumlah mitosnya sebagai topik lokal-komunal, memang disinggung sepintas. Misalnya mangga akan meningkatkan gairah perempuan. Juga, pengajian ibu-ibu diselingi latihan otot Kegel sambil bersila, atas panduan penceramah (dengan pesan: harus 20 kali sehari), agar pembahasan agama tak membosankan.

Hal lain, karena penasaran, Roanne pun menuruti saran tetangganya untuk mencoba terapi yoni wangi, atau ratus vagina. Ia datangi sebuah spa mahal, tapi menjelang terapi dimulai ia membatalkannya. Cukup pijat punggung saja.

Ia juga penasaran akan tongkat madura. Keingintahuan itu membawanya kepada seorang dokter, entah spesialis apa. Ternyata Bu Dokter berlangganan tongkat madura tanpa sepengetahuan suami.

Bertahan dan berjuang hingga buldoser datang

Warga kampung miskin tak menyerah dengan kedaaan. Maka di Bantaran Kali warganya merasa sebagai pakar banjir. Mereka tahu cara menghadapi — asal pinter aja, misalnya dengan tali tangga — dan cara bangkit setelah banjir selesai. Demikian pula ketika rumah habis dimakan api karena korsleting kabel listrik curian.

Roanne memerikan semuanya dengan lancar. Termasuk perjuangan Tikus untuk memperbaiki nasib dengan menabung kepada seorang tetangga: membuat pusat kebugaran dengan spa di tempat kumuh. Ada whirpool segala.

Gaya spa dan menjaga kebugaran ini mengingatkan saya kepada Boni Putera, pengamen dalam film Jalanan (Daniel Ziv, 2014) yang memiliki bak rendam untuk mandi di rumahnya, di kolong jembatan di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, agar — menurutnya — serasa di Grand Hyatt.

Seperti banyak cerita perihal keterlibatan secara komunal, Roanne dekat dengan warga. Ketika ibunya sakit keras di Belanda, kepala kampung menggelar pengajian.

Observasi Roanne menyedot dirinya ke dalam pusaran kehidupan Bantaran Kali. Namun ada satu hal yang sulit terwujud: waktu untuk diri sendiri. Akhirnya tibalah kesempatan, dengan pergi diam-diam naik ojek, ke bioskop. Ia serasa mendapatkan pelepasan dan pembebasan — tapi dalam bioskop ia diajak mengobrol oleh penonton lain.

Di Belanda Roanne terus mengikuti kabar Bantaran Kali, apalagi telepon pintar makin luas pemilikannya. Penggusuran kampung, dengan buldoser, Agustus 2015, ia pantau melalui WhatsApp dari foto kiriman Tikus.

Dua minggu setelah penghancuran permukiman, Roanne ke bantaran. Warga miskin dari kampung lain memunguti apa saja yang tersisa. Tikus menyambut dan mendampingi dengan langkah perlahan — tak segesit waktu pertama kali mengajak perempuan bule itu ke rumahnya, sehingga Roanne selalu tertinggal.

“Kamu bisa menulis tentang kami, kan? […] Suara kami tak pernah didengar karena kami cuma penghuni kampung kumuh.”

Maka jadilah buku yang judulnya mencomot ungkapan Tikus.

Selain ilmuwan, Roanne yang pemanjat tebing itu memang penulis fiksi dan nonfiksi — pun seorang motivator yang berbagi tip cara menulis disertasi. Ia juga pendiri platform untuk berani dalam kehidupan, Fearlessly Fearful.

Buku asli edisi Belanda. De Beste plek ter wereld van Roanne van Voorst Uitgeverij Brandt

No Comments

Leave a Reply